Detik.com – Sejauh perdebatan tantang konsepsi ekonomi dan hubungan internasional di antara ketiga calon presiden 2024, kelihatannya hanya Prabowo yang ide dan gagasan ekonominya lebih jelas. Tanpa mengurangi rasa hormat, dengan meraba-raba, Ganjar Pranowo secara ide dan gagasan ekonominya belum secara jelas dan gamblang diutarakan tapi dapat ditebak tidak akan jauh berbeda dengan kebijakan-kebijakan Presiden Jokowi. Sedangkan untuk Anies Baswedan yang mengusung jargon perubahan juga belum secara jelas dan tegas menawarkan ide dan gagasan ekonominya secara utuh. Kalau jargon politiknya perubahan, maka kalau diraba-raba ide dan gagasan ekonomi Anies Baswedan merupakan antitesis dari kebijakan Jokowi yang banyak menyuguhkan koreksi.
Lalu bagaimana posisi ide dan gagasan ekonomi Prabowo dalam menjawab tantangan ekonomi politik global? Membacanya, saya tentu berangkat dari ide dan gagasan ekonomi yang diusung oleh kandidat calon presiden lalu menjelaskan posisi gagasan ekonomi dalam arsitektur dan konstelasi ekonomi politik global. Tulisan ini berangkat dari kutipan economy for the people not people for the ekonomy dalam buku Paradoks Indonesia dan Solusinya yang ditulis Prabowo. Secara ringkas, Paradoks Indonesia berangkat dari tesis kutukan sumber daya alam atau sering disebut dengan dutch desease –negara dengan potensi sumber daya alam terus tergantung pada SDA dan melemahkan sektor lain terutama manufaktur sehingga negara yang besar tidak bisa keluar menjadi negara maju dan malah terus menjadi negara miskin.
Menyelesaikan “penyakit Belanda”, Prabowo menawarkan strategi dorongan besar (big push strategy); negara menjadi kekuatan utama dalam mengakselerasi ekonomi terutama dalam pemenuhan-pemenuhan hajat hidup rakyat yang tidak dapat dilakukan oleh sektor swasta (private sector). Prabowo menyebutnya sebagai ekonomi konstitusi –fondasi ekonomi tidak sepenuhnya liberal, juga tidak sepenuhnya sosialis. Ekonomi jalan tengah yang memadukan pendulum ekonomi secara kolaboratif antara negara dan sektor privat dalam pasar. Ide yang sebenarnya tidak baru, tetapi sukses menjadi pemicu kebangkitan Asia (Asian Miracle).
Tesis yang demikian berangkat dari pandangan Prabowo tentang politik global yang realis, yakni hubungan internasional dibangun atas relasi yang anarkis dan setiap negara akan mementingkan kepentingan nasionalnya masing-masing. Dengan demikian, kerja sama ekonomi global bersifat zero sum game. Maka tidak ada cara lain selain mengikuti arsitektur ekonomi politik global yang demikian juga. Konsekuensinya fondasi ekonomi politik global dari Prabowo berdiri pada ide merkantilisme yang menekankan negara menjadi pelopor ekonomi.
Harus Menjadi Pelopor
Meski secara rigid tidak dijelaskan dalam Paradoks Indonesia, tetapi dapat diartikan bahwa pemerintah harus menjadi pelopor dalam ekonomi dengan menempatkan badan usaha milik negara menjadi motor penggerak ekonomi. Memulainya dari kebijakan yang proteksionis terutama sektor komoditas dengan pilihan kebijakanya adalah hilirisasi. Dengan demikian negara akan mengatur dari hulu sampai ke hilir dengan harapan adanya nilai lebih dari rantai pasok yang menguntungkan negara.
Dengan model hilirisasi Prabowo meyakini tidak hanya menguntungkan secara devisa, tetapi juga mendorong penciptaan lapangan pekerjaan dari panjangnya rantai pasok dan skala ekonomi dari produksi apabila dikelola didalam negeri. konsekuensi logis, dalam kasus nikel misalnya, dengan produksi nikel Indonesia sepanjang 2022 setara dengan 48,48 persen produksi nikel global, Indonesia secara politik ekonomi akan dapat menjadi pemain utama dalam tata kelola nikel global. Tentu Prabowo juga akan menghitung konsekuensi yang tidak terlihat (unintended consequenses) dari kebijakan hilirasi yaitu perlawanan melalui WTO maupun embargo.
Menghadapi unintended consequenses dari kebijakan dorongan besar, Indonesia perlu mengakumulasi kekuatan (power) agar tercipta situasi kekuatan yang seimbang (balance of power). Dari sini relevan apa yang sekarang sudah dikerjakan Prabowo sebagai Menhan dengan terus mendorong pemenuhan minimum essential force (MEF) baik melalui modernisasi alutsista maupun mendorong penguatan industri pertahanan nasional
Setidaknya dua alasan pemenuhan indikator MEF dan penguatan industri pertahanan menjadi sangat strategis, yaitu akumulasi power akan terus mendorong daya tawar kekuatan Indonesia sebagai rising power dalam arsitektur politik global. Indonesia sebagai negara middle power akan terus mengalami kekalahan apabila tidak terus mengakumulasi kekuatan dalam perkara-perkara global menghadapi negara-negara major power.
Kedua, penguatan BUMN Pertahanan baik untuk pemenuhan MEF maupun internasionalisasi BUMN sebagai bagian dari strategi ekspansi pasar global dapat mengurangi ketergantungan Indonesia dalam rantai pasok global. BUMN dapat memperluas pasar non tradisional sehingga ketika Indonesia terlibat konflik dengan major power seperti pada kasus nikel atau sawit, Indonesia masih memiliki opsi pasar alternatif.
Jalur yang ditempuh secara teoritis mengikuti Peter Evans dalam Embedded Autonomy: States and Industrial Transformation (1995) di mana transformasi dan internasionalisasi BUMN tidak sepenuhnya mensyaratkan privatisasi tetapi negara, tetap menjadi pelopor dalam tata kelola BUMN. Model yang demikian menjadi model pertumbuhan ekonomi China yang ditopang adanya transformasi dan internasionalisasi BUMN.
Model Embedded Autonomy ini menjadi jalan keluar di mana kondisi ekonomi global hari ini yang sangat Vurnability, Uncertainty, Complexity And Ambiguity (VUCA) akan terus memproduksi kegagalan pasar (market failure). Contoh terbaiknya adalah Korea Selatan. Menurut Evans, Korea Selatan telah berhasil dalam memformulasikan jalan tengah ketengan antara negara dengan pasar melalaui kuatnya peran pemerintah tanpa mengecilkan peran sektor swasta. Sehingga apabila merujuk penguatan BUMN Pertahanan, maka strategi dorongan besar Prabowo akan bertumpu pada BUMN sebagai pelopor ekonomi baik melalui penguasaan pasar domestik maupun melalui internasionalisasi BUMN.
Memiliki Benang Merah
Secara garis besar apa yang sekarang dikerjakan Jokowi memiliki benang merah yang hampir sema terutama menempatkan negara menjadi pelopor. Kebijakan-kebijakan merkantilisme yang sarat dengan proteksi seperti kebijakan hilirisasi SDA juga memiliki kesesuaian dengan big push strategy Prabowo; negara mengatur hasil ekonomi SDA untuk kepentingan nasional dan mendorong hilirasi produk bernilai tambah serta menempatkan BUMN sebagai pelopor penggerak ekonomi.
Continuity dari kebijakan Jokowinomics dengan Prabowonomics menemukan benang merahnya. Irama bergerak dari ketukan nada yang sama. Yang membedakan kemungkinan hanya pada adjustment kebijakan BUMN; Jokowinomics lebih condong pada inward looking, sedangkan Prabowonomics dari kebijakan-kebijakan Prabowo atas BUMN Pertahanan dengan mendorong ekspor kemungkinan akan bercorak outward looking.
Apabila konsepsi Prabowonomics berjalan seperti demikian, maka Indonesia terus melanjutkan capaian-capaian baik hari ini sembari melakukan penyesuaian sesuai dengan perubahan situasi dan lingkungan internasional. Maka dari itu, Indonesia akan membutuhkan penafsiran ulang politik luar negeri yang lebih progresif dengan menempatkan pendulum bebas aktif sebagai bagian dari pemenuhan kepentingan nasional serta tidak lagi masuk dalam dikotomi “poros Washington” atau “poros Beijing”.
*Rafli Zulfikar tenaga Ahli DPR, mahasiswa Pascasarjana Hubungan Interansional Universitas Padjadjaran
Sumber : Detik.com